Sabtu, 31 Mei 2014

Kebahagiaan Di Seberang Lautan



Ditulis oleh : R. A. Wulaningtyas K.


            “Ayah, Ulan lanjut kuliah di UI ya, jurusan Hubungan Internasional atau di UIN Syarif Hidayatullah” rengek seorang gadis kepada ayahnya.
“Gak usah, disini aja” jawab si ayah sambil menghisap rokoknya. Terlihat si anak mengibaskan asap rokok agar tak terhirup olehnya.
            “Kalau gak, Ulan kuliah di UNPAD, jurusan kedokteran atau farmasi aja juga gak apa-apa. Pokoknya Ulan lanjut kuliah di Jawa. Boleh ya yaaah, yaaaaa?!”
“Gak boleh. Kuliah di Medan aja. Sekarang udah sekolah di pesantren, jadi kuliahnya jangan jauh-jauh lagi dari ayahanda”.
“AYAH GAK ASIK!” gadis itu pun memasang wajah cemberut berharap si ayah mengiyakan kemauannya.
“Kalau mau jurusan farmasi kan bisa kuliah di USU. Tapi ayah rasa anak perempuan lebih baik jadi guru aja. Jadi nanti kalau sudah berumah tangga Ulan pulang kerjanya cepat, gak sampai kesorean”.
            Tak sadar akupun tersenyum ketika mengingat kembali masa di saat aku merengek di depan ayah untuk melanjutkan kuliah di pulau Jawa 3 tahun yang lalu. ‘Menjadi Seorang Guru’, jangankan mencita-citakannya, membayangkannya saja aku tidak pernah. Saat guru menanyakan cita-cita kepada setiap siswanya di bangku sekolah dasar dulu, aku menjawab “Saya ingin menjadi polwan, bu”. Bahkan beliau menyarankanku untuk menjadi seorang guru, aku menolaknya.
“Wulan jadi guru aja nanti. Jadi guru itu pekerjaan yang mulia loh. Bisa berguna untuk orang lain. Wulan kan pinter tuh juara 1 terus, jadi nanti bisa mengajarkan ilmu dan kepinteran yang Wulan punya sama murid-murid Wulan nanti”.
“Gak ah,Bu. Wulan pengen jadi polwan aja. Wulan gak berbakat jadi guru”.
Tentu saja kukatakan aku tidak berbakat. Aku termasuk orang yang ‘bicara seadanya saja’ dan juga tidak pandai menjelaskan apa yang aku ketahui. Sedangkan guru harus banyak berbicara dan menjelaskan pelajaran dengan jelas kepada murid-muridnya.
Waktu menjawab semua. Takdirku memang berada disini, di dunia pendidikan. Sekarang aku sedang melaksanakan studiku di Universitas Negeri Medan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Aku sangat memahami bagaimana sulitnya menjadi seorang guru. Guru bukan hanya mengajarkan materi di kelas dan nantinya semua siswa mendapatkan nilai yang bagus di akhir semester. Tetapi guru juga mendidik dan melatih siswa agar menjadi sosok yang berguna dan bertanggungjawab di masa depan.
Takdir kembali membawaku untuk lebih dekat dengan profesi mulia itu. ‘Perapung’, begitu kami menyebutnya. Perapung atau perpustakaan terapung adalah ide dari salah seorang senior dan Pembina di Himpunan Mahasiswa Jurusan BSI UNIMED, Irwan Saputra. Aku sangat beruntung bisa mengenalnya, seorang mahasiwa berprestasi dan lelaki yang mempunyai hati tulus. Dan aku juga merasa bangga menjadi salah satu pengurus di organisasi internal kampus itu, mengenal teman-teman hebat dan bekerja tanpa pamrih. Banyak sekali kegiatan positif yang aku laksanakan bersama teman-teman disana.
“Neng, kemaren abang jalan-jalan sama keluarga. Terus kami ke Belawan, nyebrang ke kampung nelayan. Rumah-rumah disana dibangun di atas laut loh” ucap Bang Irwan kepadaku.
“Hah? Di atas laut? Ada gitu di Medan ini?! Kirain cuma ada di daerah Kalimantan gitu”. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Medan juga mempunyai tempat ‘spesial’ seperti itu.
“Iya loh, kan kemaren udah abang upload juga fotonya di facebook” jawab Bang Irwan meyakinkanku.
“Coba pinjam hapenya, tyas pengen liat lagi”. Bang Irwan pun membuka galeri di handphone nya dan menunjukkan kepadaku.
“Disanakan neng masih kumuh gitu daerahnya. Udah banyak juga yang kesana buat penelitian kesehatan, penelitian pendidikan juga ada. Fasilitas pendidikan disana kayaknya sih kurang. Minat belajar disana juga rendah. Abang tiba-tiba punya ide buat perpustakaan disana. Keren tuh pasti. Terus disana nanti juga kita ngajar setiap minggu” jelas Bang Irwan dengan semangat.
“Iya iya, bagus tuh” kujawab dengan tak kalah semangatnya.
“Rencananya abang mau kesana lagi untuk observasi, nanya ke lurah atau kepala lingkungan disana gimana masalah izin buat perpustakaan disana.Adek mau iikut?”
“Mau mau! Kapan?” aku sangat bersemangat ingin ikut kesana.
“Nanti abang kabarin lagi ya”
Kulihat arlogiku, sudah 45 menit aku berada di angkot. “15 menit lagi sampai’ ujarku dalam hati. Aku, Bang Irwan dan kedua temanku yang lain, Via dan Sidik janjian untuk berkumpul di Marelan terlebih dahulu, karena hanya Bang Irwan saja yang tahu jalan menuju Kampung Nelayan.
Perjalanan selama 30 menit kami tempuh dengan sepeda motor menuju Belawan. Sembari menunggu bang Irwan dan yang lainnya memarkirkan motor mereka di pelabuhan, aku termangu melihat pemandangan di hadapanku. Sungguh, ini nyata! Rumah-rumah disana berdiri kokoh di atas lautan. aku tidak menyangka akan mendapatkan pemandangan seperti ini di Medan, tempat tinggalku. Aku mengira tempat seperti ini hanya ada di pulau lain di Indonesia, bukan di Sumatera.
“Hei!” Bang Irwan menyadarkan aku yang sejak tadi berdiri menatap pemandangan lautan di depanku dengan takjub.
“Wah, beneran. Wah, keren” ucapku tanpa memindahkan pandanganku dari lautan.
“Ya beneranlah” jawab Bang Irwan.
“Nanti kita nyebrang kesana ya bang?” tanya Via.
“Yok!”
Kami berjalan di atas titian yang terbuat dari kayu menuju pelabuhan. Kurasakan angin laut bertiup memeluk tubuhku. Kuedarkan pandangan disekelilingku. Ombak-ombak bergulung kecil, sangat disayangkan airnya begitu keruh. Aku dapat melihat banyak sampah mengapung di pinggiran laut. Kulihat ke awan, langit begitu cerah, matahari bersinar sangat terik hingga seakan membakar kulitku. Kutarik napasku dalam-dalam, mencoba menikmati angin yang berhembus, kudapati sedikit aroma amis lautan. Tetapi hatiku tetap terasa tenang, dengan suara burung-burung yang berterbangan di langit, hembusan angin yang membawa gulungan ombak, dan irama air yang terhempas di pinggiran laut. Tak perlu aku pergi jauh untuk menikmati liburan semesterku di kampus, aku bisa mendapatkan kesenangan disini.
Sampailah kami berjalan diujung titi, terdapat banyak perahu yang berlabuh disana. Perahu-perahu itu yang digunakan masyarakat sebagai alat transportasi menuju Kampung Nelayan.
Aku melompat ke atas perahu, cukup menegangkan memang. karena jika aku terpeleset akan langsung tercebur ke dalam laut. Bisa ditebak apa yang terjadi setelahnya jika seseorang yang tidak bisa berenang tercebur ke dalam laut.
“Bang, antar ke rumah lurah ya bang” ujar Bang Irwan kepada ‘Abang’ yang akan mengantarkan kami ke seberang.
“Disini yang ada Kepala Lingkungan” jawabnya.
“Oh, oke. Antarkan kami kesana ya bang”.
“Nanti saya turunkan di aula. Rumah keplingnya dibelakang aula”
“Makasi ya bang”
Mesin dihidupkan, suaranya cukup ribut ditelinga. Kami memulai perjalanan di atas laut. Aku bisa merasakan angin laut menyapu wajahku. Sejauh mata memandang, hamparan lautan berada di kanan dan kiriku. Walaupun airnya tidak sejernih di laut tempat berwisata lain, tapi disini aku bisa menyegarkan pikiranku. di depanku, ‘perumahan terapung’ sudah semakin dekat. Aku sudah tidak sabar untuk tiba disana. Tidak sampai 5 menit, kamipun berlabuh. Aku dibantu oleh bang irwan naik ke atas titi yang menjadi jalan kecil untuk menghubungi satu rumah ke rumah lainnya. Segera kami menemui Kepling di sana. Syukurlah, kami disambut dengan baik olehnya.
Kami diantarkan ke sebuah ruangan yang menurutku tidak besar. Kuamati setiap sisi ruangan, terdapat beberapa poster edukasi untuk anak-anak tertempel di dinding, dan banyak pula bangku kecil berwarna-warni yang biasa digunakan untuk anak-anak di play group. Beberapa laki-laki dewasa silih berganti keluar dan masuk aula memikul beras di pundak mereka.
“Silakan duduk adek-adek” Pak Kepling mempersilakan kami duduk dengan ramah.
“Iya pak, terimakasih” jawab kami dengan senyuman sambil mengambil tempat masing-masing.
“Ini tempat apa pak? sekolah taman kanak-kanak ya?” tanya Bang Irwan memulai percakapan.
“Oh, hahaha. Bukan, ini aula tempat perkumpulan warga, sekalian juga tempat penyimpanan karung beras” jawab Pak Kepling dengan sedikit tertawa.
“Kok ada banyak bangku-bangku warna-warni pak, ada banyak poster juga. Saya kira tadinya ini sekolah TK” ujar Bang Irwan lagi.
“Kebetulan anak saya juga mengajarkan les bahasa inggris sama anak-anak di sini. Oh ya, kalian semua dari universitas mana ini?” tanya Pak Kepling.
“Kami dari jurusan bahasa inggris di UNIMED pak. kami datang untuk tanya-tanya sedikitlah tentang kampung nelayan ini. Bolehkan pak?” ujar Via.
“ya bolehlah” jawab Pak Kepling dengan senyuman.
“Anak-anak disini semuanya sekolah pak?” tanya Bang Irwan.
“Ya sekolah. Tapi disini cuma ada SD saja. Kalau mau lanjut sekolah ke SMP atau SMA ya nyebrang. Tapi memang rata-rata cuma sekolah sampai SD saja. Kebanyakan mereka gak lanjut sekolah lagi ya untuk bantu-bantu orangtua mencari ikan” terang Pak Kepling.
“Oh..” jawab kami berbarengan. Kami saling menatap satu sama lain. Sungguh memprihatinkan pendidikan anak-anak disini.
“Disini ada perpustakaan gak pak?” tanya Bang Irwan lagi.
“Ada di SD, tapi ya begitulah keadaannya”
“Rencananya kalau kami buat perpustakaan disini bagaimana izinnya pak?” Bang Irwan kembali bertanya.
“Maksudnya gimana? mau buat bangunan? ya agak mahal memang, walaupun masalah izin lahan disini bebas mau bangun dimana. ya paling disini kalau ada yang pernah pakai lahannya harus izin dulu sama yang punya lahan sebelumnya”
“Mahal di kayu penyangganya ya pak? kalau pakek beton gimana pak?” tanya Sidik.
“Ya semakin mahal. Memang kalau pakai beton lebih tahan lama dibandingkan pakai kayu”
“Oh. jadi begini pak. kami berinisiatif ingin membuat perpustakaan disini. tapi jujur saja kami belum punya dana untuk buat bangunan sendiri. Boleh gak pak kami numpang dulu di aula untuk buat perpustakaan?” Bang Irwan mulai menerangkan maksud kedatangan kami.
“Oh..boleh boleh. Tapi disini gak ada rak bukunya dan mohon maaf, karena disini juga tempat pertemuan warga, jadi kalau bisa raknya jangan menempel di dinding, yang bisa dipindah-pindahi dan jangan terlalu banyak muatannya, takutnya gak muat kalau ada pertemuan”.
“Iya pak. kami juga rencananya pengen ngajar disini seminggu sekali”
“Bagus itu. Supaya anak-anak disini punya kegiatan positif. Karena disini remaja-remajanya banyak yang tidak terarah. Bahkan banyak yang sudah terjerumus memakai narkoba. Ya susah juga nangkepnya, soalnya kalau dirazia, mereka tinggal buang narkobanya ke laut. Gak bakalan keliatan lagi kan buktinya.
“Oh ya pak, kami boleh ke sekolah SD disini?”
“Ya boleh, tapi ini kan hari minggu. Sekolah tutup”
“ oh iya. ahahaahaha” kami sontak tertawa karena sama-sama lupa kalau hari ini adala hari Minggu.
Dengan arahan jalan dari pak kepling, kami pun berjalan menuju sekolah. Menapaki titi papan yang terkadang membuatku ngeri takut terjatuh. Untunglah semakin jauh berjalan memasuki perkampungan masyarakat, daratan semakin tinggi sehingga air laut terlihat seperti kubangan-kubangan kecil saja. Mataku risih sekali melihat banyaknya sampah di bawah bangunan rumah warga. Disini begitu kumuh, semakin tercium bau amis lautan. Jauh dari kata lingkungan sehat.
Sekitar 5 menit kami habiskan untuk berjalan menuju sekolah. Sesampainya disana, kami mendapati anak-anak sedang bermain. Disepanjang koridor sekolah anak-anak laki-laki berlarian, ada juga yang memainkan skateboard. Tersimpul senyum dibibirku melihat wajah polos mereka riang tertawa bermain lepas tanpa ada beban sedikitpun, aku merasa sangat bahagia. Begitu kontras bila dibandingkan dengan anak-anak yang hidup di kota. Kini aku hampir tidak pernah lagi mendapati anak-anak seumuran mereka bermain layaknya anak-anak. Kebanyakan anak-anak seumuran mereka di kota menghabiskan waktu mereka dengan bermain gadget dan duduk di warnet tanpa mengenal batas waktu. Syukur jika yang mereka lakukan hanya bermain games, bagaimana jika mereka membuka, membaca, menonton situs yang tidak pantas dilihat oleh anak kecil, seperti pornografi?
Kami berjalan ke ujung koridor dan menghampiri anak-anak perempuan yang sedang bermain lompat tali. Kembali aku tersenyum, teringat dengan masa kecilku.
Kulihat Via mengajak ngobrol anak-anak yang berlarian disitu. Ingin sekali rasanya aku dekat dengan mereka, ngobrol seperti yang Via lakukan. Tapi aku bukan orang yang pandai berbasa-basi. aku hanya bisa tersenyum mendengar celotehan-celotehan polos mereka ketika diajak mengobrol oleh Via. Sangat tersiksa rasanya menjadi orang yang kaku dan tidak banyak bicara seperti aku ini. Bagaimana aku bisa menjadi guru nantinya?
“Bang, maunya tadi kita bawa jajanan ya” kata Via.
“Iya ya, pas mereka kumpul-kumpul gini bagi-bagi jajanan kan mereka senang” jawab Bang Irwan.
“Tapi mereka pinter-pinter loh bang. tadi aku tanyain hitungan perkalian mereka bisa jawab. berarti kan mereka masih mau belajar” ujar Via dengan semangat.
“Doain aja semoga jalan kita lancar buat perpustakaan disini. coba aja dulu pas abang masih kecil ada volunteer kayak gini. Jadi main-mainnya pun yang positif. Eh ini malah main-main gak guna, bahkan banyak yang ngerokok. termasuk abang dulu, nyoba-nyoba ikut kawan”Bang Irwan menceritakan masa kecilnya dulu.
“okeh, semangat!”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam menyaksikan obrolan mereka dan terseyum. Tapi semangat di dadaku semakin menyala, Aku harus melakukan yang terbaik untuk perpustakaan terapung kami ini.
Aku hanyut dalam lamunanku. Aku mengkhayalkan nantinya aku bisa menjadi sosok yang ceria, supel, menyayomi dan menyenangkan saat aku mengajar anak-anak kampung nelayan nanti. Walaupun ada ketakutan dalam hatiku, ketika aku nantinya malah tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun di depan mereka. Aku harus yakin, aku punya niat tulus untuk mereka. Aku pasti bisa belajar untuk menjadi pengajar yang baik.
Bang Irwan sebagai inisiator Perpustakaan Terapung tidak sendiri. Aku dan teman-teman pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan lainnya ikut membantu mengumpulkan buku-buku. Bukan hanya buku yang kami sumbangkan secara pribadi, tapi kami juga mengajak teman-teman dan keluarga kami untuk ikut menyumbangkan buku. Kami juga gencar mempromosikan kegiatan Perpustakaan Terapung ini di social media seperti Facebook dan Twitter. Syukurlah banyak respon positif yang kami dapatkan. Banyak bantuan sumbangan buku maupun uang yang kami dapatkan. dan kami juga sangat beruntung memiliki dosen-dosen yang selalu mendukung dan membantu kami setiap melakukan hal-hal yang positif. Begitu bangga bisa menjadi bagian dari mereka, orang-orang hebat dan inspiratif. Sehingga akupun ikut melakukan hal-hal yang berguna, bukan menghabiskan waktu percuma dengan orang-orang hedonis.
Waktu berjalan begitu cepat, tanggal 26 Januari 2014 pun tiba. Hati ini mulai menerka-nerka, bagaimana sambutan anak-anak Kampung Nelayan akan kedatangan kami. Aku harap mereka akan merasa senang dan menyambut kami dengan senyuman manis mereka.
Kami tiba pukul setengah dua siang di pelabuhan. Tidak ada satupun dari kami yang bermuka masam walaupun harus menempuh perjalanan jauh ke Belawan dengan jalanan padat dan berdebu, ditambah lagi panas matahari yang begitu menyengat. Kutatapi satu per satu wajah teman-teman hebatku itu, mereka tampak bergembira dengan senyum mereka. Kuyakin mereka sudah tidak sabar lagi untuk menyebrang ke Kampung Nelayan.
Aku dan Bang Irwan bersama dengan 10 orang teman lainnya dan 4 dosen-dosen hebat kami siap menyebrang dengan perahu. Masih dengan perasaan yang sama, aku merasa damai berasa disini. Hembusan angin mengibaskan kerudungku, aku terhanyut dengan desiran ombak. Meskipun matahari sangat terik, tapi hembuskan angin bisa melupakanku dari panasnya yang menyengat.
Ketika aku menginjakkan kaki di titi kayu Kampung Nelayan. Aku langsung bersemangat ingin segera masuk ke dalam aula. Dari luar sudah terdengar suara mereka. Rasanya sangat tidak sabar untuk cepat-cepat bertemu dengan mereka.
Disana enam teman-temanku yang sudah sampai duluan menghibur dan mengajak mereka bermain. Ada 60 anak disana. Kulihat mereka bergitu bergembira menyambut kedatangan kami. Akupun bergabung duduk diantara mereka, menggenggam tangan mereka, bermain, dan bernyanyi bersama. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan rasa bahagia yang tak terhingga ini. Aku bahagia bersama mereka, jauh lebih bahagia dibandingkan saat aku mendapatkan juara, jauh lebih menyenangkan daripada saat aku mendapatkan beasiswa, dan jauh lebih berkesan dibandingkan saat aku keluar kota mengikuti perlombaan.
Aku tak perlu menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang mewah, aku tak perlu keliling dunia mengunjungi tempat-tempat menakjubkan, dan aku tak perlu menjadi orang hebat yang dikenal oleh banyak orang untuk mendapatkan kebahagiaan. Karena cukup dengan berbagi dan mendapatkan senyum mereka, aku mendapatkan surgaku.
Semua berjalan dengan lancar, acara peresmian Perpustakaan Terapung selesai. Tidak hanya anak-anak, kami juga disambut dengan baik oleh warga Kampung Nelayan. Apresiasi yang begitu besar diberikan kepada seniorku, Irwan Saputra. Tidak banyak kudapati orang seperti dia. Dan tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak yakin menjadi seorang guru yang mengabdi kepada negara, nusa, dan bangsa, terutama untuk anak-anak seperti mereka, anak-anak kampung nelayan.
            “Adek-adek jangan lupa baca bukunya ya. Bukunya dijaga. Juga jangan malas belajar. Buang sampah jangan sembarangan. Okeeee???”
            “Oke kaaaaak!!!”
            “Minggu depan kakak-kakak datang lagi, kita belajar sama-sama disini ya. Mau kan datang lagi belajar sama kakak-kakak di sini???”
            “Maauuuuuu!!!!”