Ditulis oleh : R. A. Wulaningtyas K.
“Ayah, Ulan lanjut kuliah di UI ya,
jurusan Hubungan Internasional atau di UIN Syarif Hidayatullah” rengek seorang
gadis kepada ayahnya.
“Gak usah, disini aja” jawab si ayah sambil
menghisap rokoknya. Terlihat si anak mengibaskan asap rokok agar tak terhirup
olehnya.
“Kalau
gak, Ulan kuliah di UNPAD, jurusan kedokteran atau farmasi aja juga gak
apa-apa. Pokoknya Ulan lanjut kuliah di Jawa. Boleh ya yaaah, yaaaaa?!”
“Gak boleh. Kuliah di Medan aja. Sekarang udah
sekolah di pesantren, jadi kuliahnya jangan jauh-jauh lagi dari ayahanda”.
“AYAH GAK ASIK!” gadis itu pun memasang wajah
cemberut berharap si ayah mengiyakan kemauannya.
“Kalau mau jurusan farmasi kan bisa kuliah di USU.
Tapi ayah rasa anak perempuan lebih baik jadi guru aja. Jadi nanti kalau sudah
berumah tangga Ulan pulang kerjanya cepat, gak sampai kesorean”.
Tak sadar akupun tersenyum ketika
mengingat kembali masa di saat aku merengek di depan ayah untuk melanjutkan
kuliah di pulau Jawa 3 tahun yang lalu. ‘Menjadi Seorang Guru’, jangankan
mencita-citakannya, membayangkannya saja aku tidak pernah. Saat guru menanyakan
cita-cita kepada setiap siswanya di bangku sekolah dasar dulu, aku menjawab “Saya
ingin menjadi polwan, bu”. Bahkan beliau menyarankanku untuk menjadi seorang
guru, aku menolaknya.
“Wulan
jadi guru aja nanti. Jadi guru itu pekerjaan yang mulia loh. Bisa berguna untuk
orang lain. Wulan kan pinter tuh juara 1 terus, jadi nanti bisa mengajarkan
ilmu dan kepinteran yang Wulan punya sama murid-murid Wulan nanti”.
“Gak
ah,Bu. Wulan pengen jadi polwan aja. Wulan gak berbakat jadi guru”.
Tentu saja kukatakan aku tidak berbakat. Aku
termasuk orang yang ‘bicara seadanya saja’ dan juga tidak pandai menjelaskan
apa yang aku ketahui. Sedangkan guru harus banyak berbicara dan menjelaskan
pelajaran dengan jelas kepada murid-muridnya.
Waktu menjawab semua. Takdirku memang berada disini,
di dunia pendidikan. Sekarang aku sedang melaksanakan studiku di Universitas
Negeri Medan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Aku sangat memahami bagaimana
sulitnya menjadi seorang guru. Guru bukan hanya mengajarkan materi di kelas dan
nantinya semua siswa mendapatkan nilai yang bagus di akhir semester. Tetapi
guru juga mendidik dan melatih siswa agar menjadi sosok yang berguna dan
bertanggungjawab di masa depan.
Takdir kembali membawaku untuk lebih dekat dengan
profesi mulia itu. ‘Perapung’, begitu kami menyebutnya. Perapung atau
perpustakaan terapung adalah ide dari salah seorang senior dan Pembina di Himpunan
Mahasiswa Jurusan BSI UNIMED, Irwan Saputra. Aku sangat beruntung bisa
mengenalnya, seorang mahasiwa berprestasi dan lelaki yang mempunyai hati tulus.
Dan aku juga merasa bangga menjadi salah satu pengurus di organisasi internal
kampus itu, mengenal teman-teman hebat dan bekerja tanpa pamrih. Banyak sekali
kegiatan positif yang aku laksanakan bersama teman-teman disana.
“Neng, kemaren abang jalan-jalan sama keluarga.
Terus kami ke Belawan, nyebrang ke kampung nelayan. Rumah-rumah disana dibangun
di atas laut loh” ucap Bang Irwan kepadaku.
“Hah? Di atas laut? Ada gitu di Medan ini?! Kirain
cuma ada di daerah Kalimantan gitu”. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Medan
juga mempunyai tempat ‘spesial’ seperti itu.
“Iya loh, kan kemaren udah abang upload juga fotonya
di facebook” jawab Bang Irwan meyakinkanku.
“Coba pinjam hapenya, tyas pengen liat lagi”. Bang
Irwan pun membuka galeri di handphone nya dan menunjukkan kepadaku.
“Disanakan neng masih kumuh gitu daerahnya. Udah
banyak juga yang kesana buat penelitian kesehatan, penelitian pendidikan juga
ada. Fasilitas pendidikan disana kayaknya sih kurang. Minat belajar disana juga
rendah. Abang tiba-tiba punya ide buat perpustakaan disana. Keren tuh pasti.
Terus disana nanti juga kita ngajar setiap minggu” jelas Bang Irwan dengan semangat.
“Iya
iya, bagus tuh” kujawab dengan tak kalah semangatnya.
“Rencananya abang mau kesana lagi untuk observasi,
nanya ke lurah atau kepala lingkungan disana gimana masalah izin buat
perpustakaan disana.Adek mau iikut?”
“Mau mau! Kapan?” aku sangat bersemangat ingin ikut
kesana.
“Nanti abang kabarin lagi ya”
Kulihat arlogiku, sudah 45 menit aku berada di
angkot. “15 menit lagi sampai’ ujarku dalam hati. Aku, Bang Irwan dan kedua
temanku yang lain, Via dan Sidik janjian untuk berkumpul di Marelan terlebih
dahulu, karena hanya Bang Irwan saja yang tahu jalan menuju Kampung Nelayan.
Perjalanan
selama 30 menit kami tempuh dengan sepeda motor menuju Belawan. Sembari
menunggu bang Irwan dan yang lainnya memarkirkan motor mereka di pelabuhan, aku
termangu melihat pemandangan di hadapanku. Sungguh, ini nyata! Rumah-rumah
disana berdiri kokoh di atas lautan. aku tidak menyangka akan mendapatkan
pemandangan seperti ini di Medan, tempat tinggalku. Aku mengira tempat seperti
ini hanya ada di pulau lain di Indonesia, bukan di Sumatera.
“Hei!” Bang Irwan menyadarkan aku yang sejak tadi
berdiri menatap pemandangan lautan di depanku dengan takjub.
“Wah, beneran. Wah, keren” ucapku tanpa memindahkan
pandanganku dari lautan.
“Ya beneranlah” jawab Bang Irwan.
“Nanti kita nyebrang kesana ya bang?” tanya Via.
“Yok!”
Kami berjalan di atas titian yang terbuat dari kayu
menuju pelabuhan. Kurasakan angin laut bertiup memeluk tubuhku. Kuedarkan
pandangan disekelilingku. Ombak-ombak bergulung kecil, sangat disayangkan
airnya begitu keruh. Aku dapat melihat banyak sampah mengapung di pinggiran
laut. Kulihat ke awan, langit begitu cerah, matahari bersinar sangat terik
hingga seakan membakar kulitku. Kutarik napasku dalam-dalam, mencoba menikmati
angin yang berhembus, kudapati sedikit aroma amis lautan. Tetapi hatiku tetap
terasa tenang, dengan suara burung-burung yang berterbangan di langit, hembusan
angin yang membawa gulungan ombak, dan irama air yang terhempas di pinggiran
laut. Tak perlu aku pergi jauh untuk menikmati liburan semesterku di kampus,
aku bisa mendapatkan kesenangan disini.
Sampailah kami berjalan diujung titi, terdapat
banyak perahu yang berlabuh disana. Perahu-perahu itu yang digunakan masyarakat
sebagai alat transportasi menuju Kampung Nelayan.
Aku melompat ke atas perahu, cukup menegangkan memang.
karena jika aku terpeleset akan langsung tercebur ke dalam laut. Bisa ditebak
apa yang terjadi setelahnya jika seseorang yang tidak bisa berenang tercebur ke
dalam laut.
“Bang, antar ke rumah lurah ya bang” ujar Bang Irwan
kepada ‘Abang’ yang akan mengantarkan kami ke seberang.
“Disini yang ada Kepala Lingkungan” jawabnya.
“Oh, oke. Antarkan kami kesana ya bang”.
“Nanti saya turunkan di aula. Rumah keplingnya
dibelakang aula”
“Makasi ya bang”
Mesin dihidupkan, suaranya cukup ribut ditelinga.
Kami memulai perjalanan di atas laut. Aku bisa merasakan angin laut menyapu
wajahku. Sejauh mata memandang, hamparan lautan berada di kanan dan kiriku.
Walaupun airnya tidak sejernih di laut tempat berwisata lain, tapi disini aku bisa
menyegarkan pikiranku. di depanku, ‘perumahan terapung’ sudah semakin dekat.
Aku sudah tidak sabar untuk tiba disana. Tidak sampai 5 menit, kamipun
berlabuh. Aku dibantu oleh bang irwan naik ke atas titi yang menjadi jalan
kecil untuk menghubungi satu rumah ke rumah lainnya. Segera kami menemui
Kepling di sana. Syukurlah, kami disambut dengan baik olehnya.
Kami diantarkan ke sebuah ruangan yang menurutku
tidak besar. Kuamati setiap sisi ruangan, terdapat beberapa poster edukasi
untuk anak-anak tertempel di dinding, dan banyak pula bangku kecil
berwarna-warni yang biasa digunakan untuk anak-anak di play group. Beberapa
laki-laki dewasa silih berganti keluar dan masuk aula memikul beras di pundak
mereka.
“Silakan
duduk adek-adek” Pak Kepling mempersilakan kami duduk dengan ramah.
“Iya
pak, terimakasih” jawab kami dengan senyuman sambil mengambil tempat
masing-masing.
“Ini
tempat apa pak? sekolah taman kanak-kanak ya?” tanya Bang Irwan memulai
percakapan.
“Oh,
hahaha. Bukan, ini aula tempat perkumpulan warga, sekalian juga tempat
penyimpanan karung beras” jawab Pak Kepling dengan sedikit tertawa.
“Kok
ada banyak bangku-bangku warna-warni pak, ada banyak poster juga. Saya kira
tadinya ini sekolah TK” ujar Bang Irwan lagi.
“Kebetulan
anak saya juga mengajarkan les bahasa inggris sama anak-anak di sini. Oh ya,
kalian semua dari universitas mana ini?” tanya Pak Kepling.
“Kami
dari jurusan bahasa inggris di UNIMED pak. kami datang untuk tanya-tanya
sedikitlah tentang kampung nelayan ini. Bolehkan pak?” ujar Via.
“ya
bolehlah” jawab Pak Kepling dengan senyuman.
“Anak-anak
disini semuanya sekolah pak?” tanya Bang Irwan.
“Ya
sekolah. Tapi disini cuma ada SD saja. Kalau mau lanjut sekolah ke SMP atau SMA
ya nyebrang. Tapi memang rata-rata cuma sekolah sampai SD saja. Kebanyakan
mereka gak lanjut sekolah lagi ya untuk bantu-bantu orangtua mencari ikan”
terang Pak Kepling.
“Oh..”
jawab kami berbarengan. Kami saling menatap satu sama lain. Sungguh
memprihatinkan pendidikan anak-anak disini.
“Disini
ada perpustakaan gak pak?” tanya Bang Irwan lagi.
“Ada
di SD, tapi ya begitulah keadaannya”
“Rencananya
kalau kami buat perpustakaan disini bagaimana izinnya pak?” Bang Irwan kembali
bertanya.
“Maksudnya
gimana? mau buat bangunan? ya agak mahal memang, walaupun masalah izin lahan
disini bebas mau bangun dimana. ya paling disini kalau ada yang pernah pakai
lahannya harus izin dulu sama yang punya lahan sebelumnya”
“Mahal
di kayu penyangganya ya pak? kalau pakek beton gimana pak?” tanya Sidik.
“Ya
semakin mahal. Memang kalau pakai beton lebih tahan lama dibandingkan pakai
kayu”
“Oh.
jadi begini pak. kami berinisiatif ingin membuat perpustakaan disini. tapi jujur
saja kami belum punya dana untuk buat bangunan sendiri. Boleh gak pak kami
numpang dulu di aula untuk buat perpustakaan?” Bang Irwan mulai menerangkan
maksud kedatangan kami.
“Oh..boleh
boleh. Tapi disini gak ada rak bukunya dan mohon maaf, karena disini juga
tempat pertemuan warga, jadi kalau bisa raknya jangan menempel di dinding, yang
bisa dipindah-pindahi dan jangan terlalu banyak muatannya, takutnya gak muat
kalau ada pertemuan”.
“Iya
pak. kami juga rencananya pengen ngajar disini seminggu sekali”
“Bagus
itu. Supaya anak-anak disini punya kegiatan positif. Karena disini
remaja-remajanya banyak yang tidak terarah. Bahkan banyak yang sudah terjerumus
memakai narkoba. Ya susah juga nangkepnya, soalnya kalau dirazia, mereka tinggal
buang narkobanya ke laut. Gak bakalan keliatan lagi kan buktinya.
“Oh
ya pak, kami boleh ke sekolah SD disini?”
“Ya
boleh, tapi ini kan hari minggu. Sekolah tutup”
“
oh iya. ahahaahaha” kami sontak tertawa karena sama-sama lupa kalau hari ini
adala hari Minggu.
Dengan arahan jalan dari pak kepling, kami pun
berjalan menuju sekolah. Menapaki titi papan yang terkadang membuatku ngeri
takut terjatuh. Untunglah semakin jauh berjalan memasuki perkampungan
masyarakat, daratan semakin tinggi sehingga air laut terlihat seperti
kubangan-kubangan kecil saja. Mataku risih sekali melihat banyaknya sampah di bawah
bangunan rumah warga. Disini begitu kumuh, semakin tercium bau amis lautan.
Jauh dari kata lingkungan sehat.
Sekitar 5 menit kami habiskan untuk berjalan menuju
sekolah. Sesampainya disana, kami mendapati anak-anak sedang bermain. Disepanjang
koridor sekolah anak-anak laki-laki berlarian, ada juga yang memainkan
skateboard. Tersimpul senyum dibibirku melihat wajah polos mereka riang tertawa
bermain lepas tanpa ada beban sedikitpun, aku merasa sangat bahagia. Begitu
kontras bila dibandingkan dengan anak-anak yang hidup di kota. Kini aku hampir
tidak pernah lagi mendapati anak-anak seumuran mereka bermain layaknya
anak-anak. Kebanyakan anak-anak seumuran mereka di kota menghabiskan waktu
mereka dengan bermain gadget dan duduk di warnet tanpa mengenal batas waktu. Syukur
jika yang mereka lakukan hanya bermain games, bagaimana jika mereka membuka,
membaca, menonton situs yang tidak pantas dilihat oleh anak kecil, seperti
pornografi?
Kami berjalan ke ujung koridor dan menghampiri
anak-anak perempuan yang sedang bermain lompat tali. Kembali aku tersenyum, teringat
dengan masa kecilku.
Kulihat Via mengajak ngobrol anak-anak yang
berlarian disitu. Ingin
sekali rasanya aku dekat dengan mereka, ngobrol seperti yang Via lakukan. Tapi
aku bukan orang yang pandai berbasa-basi. aku hanya bisa tersenyum mendengar
celotehan-celotehan polos mereka ketika diajak mengobrol oleh Via. Sangat
tersiksa rasanya menjadi orang yang kaku dan tidak banyak bicara seperti aku
ini. Bagaimana aku bisa menjadi guru nantinya?
“Bang,
maunya tadi kita bawa jajanan ya” kata Via.
“Iya
ya, pas mereka kumpul-kumpul gini bagi-bagi jajanan kan mereka senang” jawab Bang Irwan.
“Tapi
mereka pinter-pinter loh bang. tadi aku tanyain hitungan perkalian mereka bisa
jawab. berarti kan mereka masih mau belajar” ujar Via dengan semangat.
“Doain
aja semoga jalan kita lancar
buat perpustakaan disini. coba aja dulu pas abang masih kecil ada volunteer
kayak gini. Jadi main-mainnya pun yang positif. Eh ini malah main-main gak
guna, bahkan banyak yang ngerokok. termasuk abang dulu, nyoba-nyoba ikut kawan”Bang
Irwan menceritakan masa kecilnya dulu.
“okeh,
semangat!”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam menyaksikan obrolan
mereka dan terseyum. Tapi semangat di dadaku semakin menyala, Aku harus
melakukan yang terbaik untuk perpustakaan terapung kami ini.
Aku hanyut dalam lamunanku. Aku mengkhayalkan
nantinya aku bisa menjadi sosok yang ceria, supel, menyayomi dan menyenangkan
saat aku mengajar anak-anak kampung nelayan nanti. Walaupun ada ketakutan dalam
hatiku, ketika aku nantinya malah tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun di
depan mereka. Aku harus yakin, aku punya niat tulus untuk mereka. Aku pasti
bisa belajar untuk menjadi pengajar yang baik.
Bang Irwan sebagai inisiator Perpustakaan Terapung
tidak sendiri. Aku dan teman-teman pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan lainnya
ikut membantu mengumpulkan buku-buku. Bukan hanya buku yang kami sumbangkan
secara pribadi, tapi kami juga mengajak teman-teman dan keluarga kami untuk ikut
menyumbangkan buku. Kami juga gencar mempromosikan kegiatan Perpustakaan Terapung
ini di social media seperti Facebook dan Twitter. Syukurlah banyak respon
positif yang kami dapatkan. Banyak bantuan sumbangan buku maupun uang yang kami
dapatkan. dan kami juga sangat beruntung memiliki dosen-dosen yang selalu
mendukung dan membantu kami setiap melakukan hal-hal yang positif. Begitu
bangga bisa menjadi bagian dari mereka, orang-orang hebat dan inspiratif.
Sehingga akupun ikut melakukan hal-hal yang berguna, bukan menghabiskan waktu
percuma dengan orang-orang hedonis.
Waktu berjalan begitu cepat, tanggal 26 Januari 2014
pun tiba. Hati ini mulai menerka-nerka, bagaimana sambutan anak-anak Kampung Nelayan
akan kedatangan kami. Aku harap mereka akan merasa senang dan menyambut kami
dengan senyuman manis mereka.
Kami tiba pukul setengah dua siang di pelabuhan.
Tidak ada satupun dari kami yang bermuka masam walaupun harus menempuh
perjalanan jauh ke Belawan dengan jalanan padat dan berdebu, ditambah lagi
panas matahari yang begitu menyengat. Kutatapi satu per satu wajah teman-teman
hebatku itu, mereka tampak bergembira dengan senyum mereka. Kuyakin mereka
sudah tidak sabar lagi untuk menyebrang ke Kampung Nelayan.
Aku dan Bang Irwan bersama dengan 10 orang teman
lainnya dan 4 dosen-dosen hebat kami siap menyebrang dengan perahu. Masih
dengan perasaan yang sama, aku merasa damai berasa disini. Hembusan angin
mengibaskan kerudungku, aku terhanyut dengan desiran ombak. Meskipun matahari
sangat terik, tapi hembuskan angin bisa melupakanku dari panasnya yang
menyengat.
Ketika aku menginjakkan kaki di titi kayu Kampung
Nelayan. Aku langsung bersemangat ingin segera masuk ke dalam aula. Dari luar sudah
terdengar suara mereka. Rasanya sangat tidak sabar untuk cepat-cepat bertemu
dengan mereka.
Disana enam teman-temanku yang sudah sampai duluan
menghibur dan mengajak mereka bermain. Ada 60 anak disana. Kulihat mereka
bergitu bergembira menyambut kedatangan kami. Akupun bergabung duduk diantara
mereka, menggenggam tangan mereka, bermain, dan bernyanyi bersama. Aku tak tahu
bagaimana mendeskripsikan rasa bahagia yang tak terhingga ini. Aku bahagia bersama
mereka, jauh lebih bahagia dibandingkan saat aku mendapatkan juara, jauh lebih
menyenangkan daripada saat aku mendapatkan beasiswa, dan jauh lebih berkesan
dibandingkan saat aku keluar kota mengikuti perlombaan.
Aku tak perlu menghabiskan banyak uang untuk membeli
barang-barang mewah, aku tak perlu keliling dunia mengunjungi tempat-tempat
menakjubkan, dan aku tak perlu menjadi orang hebat yang dikenal oleh banyak
orang untuk mendapatkan kebahagiaan. Karena cukup dengan berbagi dan
mendapatkan senyum mereka, aku mendapatkan surgaku.
Semua berjalan dengan lancar, acara peresmian
Perpustakaan Terapung selesai. Tidak hanya anak-anak, kami juga disambut dengan
baik oleh warga Kampung Nelayan. Apresiasi yang begitu besar diberikan kepada
seniorku, Irwan Saputra. Tidak banyak kudapati orang seperti dia. Dan tidak ada
alasan lagi bagiku untuk tidak yakin menjadi seorang guru yang mengabdi kepada
negara, nusa, dan bangsa, terutama untuk anak-anak seperti mereka, anak-anak
kampung nelayan.
“Adek-adek jangan lupa baca bukunya
ya. Bukunya dijaga. Juga jangan malas belajar. Buang sampah jangan sembarangan.
Okeeee???”
“Oke kaaaaak!!!”
“Minggu depan kakak-kakak datang
lagi, kita belajar sama-sama disini ya. Mau kan datang lagi belajar sama
kakak-kakak di sini???”
“Maauuuuuu!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar